Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Pages

Kamis, 15 Maret 2012

Rumah

Mata serasa terpejam... Namun naluri tak mengizinkan...
Semua batu tertumpuk hebat
Berat, sangat berat
Jauh rumah terpandang namun nyata
Sekonyong-konyong semakin dekat
Mendekat, dekat, dekat, dekat,  makin dekat dan fana...
Rumah begitu jauh tak terlihat
Terpandang hanya bayang
Bias palsu
Hampa dalam gelap...

15 Maret 2012
-Malini-

Minggu, 04 Maret 2012

Sepasang Elang


Dua bulan lebih aku dan Dori menjalin kasih. Pria yang semula ku kira mampu membaca pikiranku. Pria yang ku kira akan sangat memahami diriku dengan toleransinya yang tinggi. Aku adalah jiwa yang sangat bebas, melakukan segala yang kusuka dengan caraku sendiri. Dan ini adalah pertama kalinya aku memutuskan untuk membuka hatiku kembali, berkomitmen setelah kisah cintaku bersama Jack usai 2 tahun yang lalu.
            Tak bisa ku pungkiri, bayang-banyang Jack masih sangat jelas dibenakku. Ikatan batin yang dulu pernah hidup, masih begitu kokoh. Namun selalu ku buang jauh-jauh pikiranku ketika Jack terlukis dalam memori. Karena kini aku bersama Dori, dan pria itu pula yang ku izinkan untuk menguasai hatiku.
            Masih teringat jelas masa itu, ketika pertama kali Dori mengungkapkan perasaannya padaku. Hari dimana ia memintaku menjadi kekasihnya. Ya, pertengahan bulan November, tepat tanggal 15.
            Sebuah pesan singkat hinggap di ponselku siang itu, ketika kelasku telah usai, tepat pertengahan November. Sebuah pertanyaan dari Dori yang membuatku berdebar dan seakan membuatku gila.
“Apa yang membuatmu tidak bisa tidur? Apakah sesuatu yang membuatmu ragu? Jika benar, aku bisa membuat semuanya jelas. Nanti malam, ayo keluar.”
Betapa aku tersentak hebat membaca pesan itu. Ia mengerti bahasa pikiranku. Alam pikirku berkelana kemana-mana, menerka-nerka apa yang hendak disampaikan Dori padaku. Apakah ia akan berkata “aku suka kamu”, atau ia akan berkata “bagiku kau tak lebih dari sekedar teman kuliah, mohon jangan salah paham”. Ya, aku memang sedang bimbang. Dari sudut pandangku, aku merasa Dori memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman padaku. Namun disisi lain aku tak ingin salah paham. Dori pria yang baik, ia ramah pada semua orang.
Malam itu, ia menjemputku. Sungguh, aku merasa kehilangan kendali. Sepertinya aku lupa cara berjalan. Aku bingung bagaimana harus duduk. Bahkan aku tak tahu dimana letak tanganku. Dan yang terparah, aku tak mampu membunyikan pita suaraku. Otakku tak lagi fokus, benar-benar merasa idiot. Sehingga waktu terasa begitu lambat. Kami berdiskusi, saling bertanya dan saling mengungkap. Hasil diskusi kami adalah menjalin hubungan dengan komitmen berpacaran. Aku sangat tersanjung di malam pertengahan November itu, hatiku terasa mengembang. Setelah dua tahun ku ikat hatiku erat-erat, akhirnya kurasakan kembali perasaan ini. Menyayang dan disayang.
Setelah malam itu, hubungan kami menjadi sangat kaku. Bukan tampak seperti sepasang dara, kami justru begitu jauh. Aku mengerti, mungkin Dori merasa sungkan dihadapan teman-teman sekelas kami. Dan aku, selalu salah tingkah ketika bertatap muka  dengannya. Bahkan hanya dengan melihat punggungnya, aku bisa kehilangan kendali.
Hari berganti hari, 2 minggu telah terlewati. Kekakuan kami mulai melentur. Aku senang ketika bertemu dengannya, penat dan lelahku terasa lenyap saat bercakap dan meletakkan kepalaku di pundaknya. Benar, Dori sangat toleran. Meski terkadang aku merasa sikapnya terhadap teman-teman wanitanya berebihan, aku menganggap hal itu wujud toleranku atas toleransinya padaku.
Sebulan telah berlalu, toleransinya padaku kurasa berubah menjadi ketidak acuhannya padaku. Aku mengerti, mungkin terlalu cepat bagiku untuk mengharapkan bagian yang lebih pada hatinya. Waktu terus berlalu tanpa lelah. Dua bulan sudah kami bersama. Ku amati Dori, ia bahkan tak mampu mengungkapkan amarahnya meski itu perlu. Ia tak mampu mengambil sendiri keputusan yang memang harus ia putuskan. Dan ia bahkan tak cukup berani untuk berpendapat dan berbicara di depan umum. Aku butuh seorang “Pria”, hatiku menjerit.
Bahkan ia sama sekali tak cemburu ketika aku bersama teman priaku. Aku berharap ia akan memarahi dan membentakku. Namun ia hanya bergeming.
Kini, kami berdua mulai menapaki bulan Pebruari. Aku ingin hubungan yang serius, namun kulihat Dori punya pikiran berbeda tentang hubugan kami. Bahkan di ponselnya, ia masih menyimpan foto mantan kekasihnya. Kupikir ia akan mengerti walau aku tak pernah menyinggung tentang hal itu, tapi sekali lagi kusadari bahwa ia sama sekali tak peka. Kekecewaanku bertambah ketika kulihat ia masih menyimpan foto mantan kekasihnya itu di dompetnya. Sungguh aku merasa bodoh.
Perasaanku yang mulai berkurang, terus berkurang hingga hampir tak tersisa. Kuubah namanya di poselku, ku kosongkan hatiku. Hingga aku benar-benar yakin tak ada lagi yang aku harapkan darinya.
Ia mulai menyadari perubahan sikapku. Saat ia melihat poselku, kulihat matanya berkaca. Apa aku salah mengambil keputusan? Entahalah, ini terasa seperti soal fisika bagiku. Ya, sekarang aku tahu dia mencintaiku. Bahkan lebih dari yang ku duga.
Sekarang sudah 2 bulan lebih, tapi aku kehilangan perasaanku. Kenapa tak lebih awal dia tunjukkan rasanya padaku. Kenapa Dori hanya diam? Dan kediaman itu sangat menyiksaku. Membuatku merasa begitu tidak berharga untuknya. Satu hal lagi yang begitu mengganggu bagiku, aku butuh sosok yang bisa dikatakan “pria”. Seseorang yang menunjukkan emosinya jika diperlukan, seseorang yang tegas dan berwibawa. Bukan seseorang yang “diam” dan tak dapat mengambil keputusan. Aku ingin pasanganku yang dominan, bukan aku. Karena aku wanita.
Aku hampir putus asa. Walau orang lain berkata hubungan kami “baru” 2 bulan lebih, bagiku waktu 2 bulan tidaklah sebentar. Terlebih lagi membiarkan orang lain berkelana dalam hatiku selama itu. Aku terus berpikir, akhirnya ku putuskan untuk berterus terang padanya.
Kami bertemu di sebuah caffe. Tak ada sepatah katapun yang keluar hingga 2 cangkir kopi panas tiba di meja kami. Aku merasa sulit untuk memulai pembicaraan, namun aku harus. Ku ungkapkan semua hal yang sangat menggangguku, kuungkapkan semua sikapnya yang tak ku suka. Tanpa tirai, penuh cela. “Beri aku kesempatan,” itu yang ia katakan. Tak ada pembelaan sama sekali, seakan semua yang ku ucapkan adalah mutlak. Sekali lagi, ini yang menggangguku, bahkan sebagai seorang pria meski harga dirinya terinjak ia akan tetap “diam”.
            Aku tak tahu mesti berkata apa. Kujawab permintaannya dengan berkata “baiklah, jangan lama-lama aku tak bisa terlalu lama menunggu”. Ku beranikan hatiku untuk menanyakan sesuatu, tentang perasaannya padaku.
“Boleh ku tahu? Seberapa besar perasaanmu padaku?”
“Ya, 90% hatiku”
Aku tersentak hebat mendengar jawaban Dori, 90% bukan persentase yang kecil. Inilah jawaban yang sangat aku takutkan. Dan pertanyaan darinya lebih membuatku takut. Dan aku tak bisa berbohong.
“Dan aku mohon kau menjawab Ell, seberapa besar perasaanmu padaku?”
“35%.”
            Sangat terlihat betapa Dori begitu kecewa atas jawabanku. Aku dapat membayangkan bahwa baginya langit serasa runtuh. Sungguh jahat. Aku merasa menjadi manusia paling jahat di muka bumi. Betapa tidak, aku melukai hati seorang anak manusia yang begitu tulus.
            Setelah pembicaraan itu aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Akankah ia berubah seperti yang kuinginkan? Atau mungkin tidak, dan aku akan melepaskannya. Lalu apa? Akankah ia terpuruk? Aku mohon jangan, akan lebih baik jika ia membenciku dan melajutkan hidupnya kembali.
            Hingga kini aku masih menanti, menanti ia akan berubah menjadi “pria” yang ku inginkan. Ku ikat hatiku, cukup dengan 35% itu saja perasaanku untuknya. Sebentar lagi ulang tahunku, dan aku tak berharap mendapat kejutan darinya. Karena apabila aku tak sanggup lagi, tentu akan sangat menyakitkan baginya. Untung saja libur semester ini hingga akhir bulan Pebruari, setidaknya aku bisa sedikit tenang karena tak akan bertemu dengannya. Namun ketenangan itu sirna, tepat pada hari valentine ada hal mendesak yang harus aku urus di kampus. Maka malam sebelum hari itu, aku berangkat dari rumahku di desa ke kamar sewaku di kota dengan nafas yang berat. “Dia akan menjemputku”. Itu yang selalu terngiang dalam otakku.
            Setibanya di Kota kulihat Dori telah menungguku. Kutatap wajahnya dari kejauhan. Astaga, aku menyukai pria itu. Hatiku berdebar, namun sikapku tetap tak berubah padanya. Tetap dingin. Seperti dugaanku, Dori tak mengantarku ke kamar sewa. Ia menurunkanku di caffe dekat universitas kami dengan alasan “aku ingin makan sesuatu”.
            Ya, dugaanku benar. Teman-temanku dan Dori merencanakan kejuta kecil untuk merayakan hari kelahiranku. Aku terkesan malam itu, namun hatiku tak tersenyum. Hari berikutnya, ketika urusanku di kampus selesai Dori mengajakku berlibur sehari ke kaki gunung dekat kota. Aku tak menolak, karena aku harus konsisten dengan memberinya kesempatan. Jujur aku sangat menikmati liburan sehari kami. Sepanjang perjalanan berangkat kami tak banyak bercakap di mobil, namun pikiranku mengembara. Kupikir diriku terlalu egois dengan hanya memikirkan perasaanku. Aku terlalu egois menginginkan hal lebih darinya. Dia bahkan terlalu baik untukku. Dia menerimaku apa adanya, kenapa tidak kulakukan hal yang sama?
“Ku antar kau sampai kerumah ya?”
“Serius? Perjalanan 2 jam, apa kau tak lelah?”
“Iya, serius. Tapi aku langsung pulang, sudah malam.”
Aku terkejut, sungguh ku kira Dori hanya bercanda. Ia benar-benar mengantarku pulang. Kulihat kegelisahan diwajahnya. Ini pertama kalinya ia akan bertemu kedua orang tuaku.
Kami tiba di rumahku. Kedua orang tuaku menyambutnya dengan baik. Kulihat keringat mengucur di dahinya. Ia menggenggam tanganku erat. Kurasakan ia sangat gugup, tangannya seperti membeku padahal suhu udara sangat normal.
Tak lama setelah itu, ia berpamitan pulang. Ada waktu seminggu sebelum kami berdua akan bertemu kembali di awal Maret. Kugunakan waktuku sebaik mungkin untuk berdialog antara hati dan pikiranku. Ya, kusadari aku sangat egois. “Maaf”, kata itu yang menghantui diriku. Aku mencintai Dori, lalu kenapa aku mempermasalahkan hal yang memang konsekuensiku? Pikiran dan hatiku berkata “Kau bodoh Ell, Dori adalah pria baik dan kau mempermainkannya”.
Kini kubuka kembali ikatan di hatiku. Ku izinkan Dori menggenggam hatiku sepenuhnya. Aku mencintainya, apa adanya. Meski ia akan menjadi buruk aku tetap mencintainya. Karena cinta tak akan memandang, namun merasakan. Segala kekurangannya, pasti akan berubah seiring berjalannya waktu karena manusia pasti akan belajar. Disitulah tugasku sebagai kekasihnya, mendorong dan membantunya untuk belajar. Hal itu pula yang akan Dori lakukan untukku.
Butuh waktu lama bagiku untuk mengerti semua ini. Dori menerimaku dengan segala keburukanku. Ia menyayangiku, namun ia “diam”. Dan aku akan membantunya untuk “bergerak”. Dan ia mengajariku banyak hal tanpa kusadari. Aku menyayangi Dori, sepenuhnya. Dan berharap kisah kami akan menemukan akhirnya di penghujung hidupku. Tidak, di penghujung hidup kami. Seperti sepasang elang.

Rabu, 07 September 2011

Travelogue of a True Life


Bagian Pertama
            Dunia begitu penuh dengan omong kosong sehingga kehidupan begitu sesak oleh kehampaan. Banyak hati yang berbohong pada diri sendiri hanya untuk menghibur diri sendiri, menyedihkan. Begitu cepat kesombongan mewabah pada setiap insan, tertawa hebat untuk diri sendiri dan mengumpat untuk keberhasilan orang lain kemudian menyalahkan semua kecuali diri sendiri saat kegagalan diunduh. Gengsi dan harga diri adalah permasalahan yang tak akan pernah ada habisnya, begitu juga dengan hujatan. Akankah setiap kehidupan begitu menyedihkan??

***



Bagian Kedua
                Dunia begitu sempurna dengan segala kekuasaan Tuhan. Segalanya seimbang sesuai dengan kondisi masing-masing, sungguh menakjubkan. Berawal dari pikiran dan keyakinan itulah Youna menjalani hidupnya hingga usia yang ke 17 ini. Sungguh diluar dugaan bahwa ia sanggup mendapat beasiswa untuk kuliahnya, walaupun di perguruan tinggi swasta dan hanya hingga jenjang diploma. Mengagetkan karena dia tidak pernah mendapatkan posisi yang luar biasa semasa sekolah. Selalu pada posisi sedang, seperti halnya pada saat ia SMP. Memang ia masuk di kelas unggulan di SMP favorite, namun posisinya dikelas selalu sedang tidak pernah di posisi atas. Begitu juga saat SMA, ia masuk di kelas IPA 1 namun tak sekalipun ia mendapat peringkat 10 besar di kelasnya. Sedangkan teman-temannya yang mendapat prestasi sewaktu sekolah, begitu sulit untuk masuk di perguruan tinggi.
            Besok adalah hari pertamanya masuk kuliah, hal itu membuatnya tidak bisa tidur. Jantungnya berdebar, hatinya bertanya-tanya, ilmu apa yang akan ia peroleh besok?? Ia membuka laptop dan memasang modem, membuka saluran internet kemudian membuka jejaring sosialnya. 1 pesan belum dibuka, ia pun membaca pesan tersebut.
“Youna, kapan Kau ke Surabaya?? Kau ambil jurusan apa?? Aku juga kuliah disana, kalau kau mau kemana-mana hubungi aku saja. Kau pasti tidak punya teman, iy kan?? Ini nomorku 0856302116. J”.
            Youna terkejut membaca pesan itu, “sok tahu”, itu yang ada di pikirannya. Pesan itu dari Johny teman satu SMPnya dan juga teman satu SMAnya. Lebih tepatnya mantan pacar teman dekatnya. Ia baru tahu bahwa Johny juga kuliah di kampusnya. Pesan itu membuatya kesal dan memerintah jari-jarinya untuk mengetik “M.E.N.Y.E.B.A.L.K.A.N” pada status barunya.

***

Jumat, 17 Juni 2011

Metamorfosa



            Sore yang begitu hangat ditemani indahnya sinar matahari yang mulai memerah. Penuh bahagia sepasang bola mata bermain kesana kemari mengikuti gerak capung yang begitu ramai. Tawa-tawa kecil menggelitik setiap pasang telinga ketika bibir-bibir mungil itu terbuka lebar. Melompat-lompat dan berlari kecil mengejar sekelompok capung dengan sepasang tangan yang begitu serakah seakan ingin menggenggam seisi dunia. Namun itu hanya kenangan, sebait memori indah masa kecil Nashita yang tak lagi ditemukannya hinggap pada kehidupan anak-anak kecil di desanya kini.
            Masih terlukis jelas di benak Nashita, betapa banyak capung berterbangan saat ia bermain bersama teman-temannya di pinggir sawah. Walau kampung halamannya masih seperti dulu, tapi keberadaan capung-capung indah itu tak lagi terdeteksi. Mulai berfikirlah otaknya, apa penyebabnya? Adakah yang salah dengan sawah-sawah itu? Selokan-selokan kecil itu? Ataukah udara ini begitu menyesakkan?
            Liburan semester pertama ini ingin dipuaskannya menikmati pemandangan desa yang tak ia nikmati selama 6 bulan terakhir. Demi beasiswanya, ia harus berkutat dengan kuliah dan mengenyam kehidupan kota yang begitu menyesakkan. Pertengahan januari akan menjadi udara segar bagi Nashita. Yang selalu membayangi pikirannya adalah segera bergegas dari kota Pahlawan, pulang ke rumah tercinta, bertemu keluarga dan menikmati udara pedesaan. Lamunannya terhenti seketika saat terdengar dering ponsel. Sebuah pesan dari Niko, “Kapan pulang ke desa?? Ayo pulang bareng !!”. Singkat balasan dari Nashita, “Tanggal 16, jemput di kos ya.... J”. Merekah wajah Niko menerima balasan dari Nashita, gadis yang memenangkan hatinya sejak SMP. Mereka sudah saling kenal sejak SMP, namun kedekatan mereka baru terajut ketika kuliah.
            Hari ini adalah hari kebebasan untuk Nashita, ujian terakhir berarti pulang ke rumah. Terputar dalam memorinya semalam saat menerima pesan dari Niko, “Jam 6 malam habis kamu ujian aku jemput di kosmu”. Segera ia bergegas meletakkan kertas ujian yang telah diisinya ke meja dosen pengawas dan meninggalkan ruang ujian seperti tiupan angin. Seolah dikejar hantu, Nashita berlari menuju kos. Disabet tas ranselnya dan segera ia memakai sepatu kemudian berjalan keluar. Saat ia membuka pintu, Niko sudah berdiri disamping motornya sibuk menempelkan ponsel ditelinga. Saat Niko menutup ponselnya, berhenti pula suara yang tadi terus merongrong di saku Nashita.
            3 jam berlalu, tiba juga Nashita di rumahnya. Tanpa basa basi Niko menyuruh Nashita segera masuk, ia mengerti betul gadis cantik itu sudah sangat merindukan keluarganya. Satu kalimat yang membayangi Niko hingga ia terlelap dalam senyum. “Besok sore jam 3 kerumahku ya, mau aku ajak ke suatu tempat, jangan lupa ya”.
            Suara alarm mengusik tidur siang Niko, tepat pukul 14:10. Segera ia bergegas mandi, mencaplok kunci motornya seperti karnivora ganas yang mengejar mangsa. Nashita sudah duduk menanti di depan rumah. Akhirnya lelaki yang selalu menjaga dan menemani Nashita di kota perantauannnya itu tiba. “Mau kemana??”, tanya Niko menyembunyikan rasa bersalah karena tidak tepat waktu. “ Ke sawah ujung sana”, jawab Nashita singkat. Berputar otak Niko bertanya-tanya, untuk apa disore yang terik pergi ke sawah, bukankah menghabiskan waktu di caffe akan lebih menyenangkan pikirnya.
            Tak perlu menghabiskan waktu banyak untuk sampai ke sawah, karena tak jauh dari rumah Nashita. Niko masih juga tak mengerti, sawah? Ada apa di sawah? Pertanyaan itu selalu berputar. Dan menakjubkan, segerombol kecil capung berterbangan di atas tanaman kacang tanah. “Niko !! ayo kesini!!”, teriak Nashita menghentikan lamunannya akan keelokan alam yang ia saksikan. Untuk kesekian kali Nashita membuatnya tertegun.
            Mereka duduk di gubuk tengah sawah, berdiam menikmati pemandangan sawah yang indah. Mata Nashita tak henti mengikuti gerak capung yang terbang kesana kemari, serangga kecil yang begitu lincah, yang menghabiskan bertahun-tahun demi metamorfosis tak sempurnanya dan hidup pendek dengan bentuk baru yang indah. “Tragis ya kehidupan capung itu”, celoteh Nashita. “Kenapa? Biasa saja, seperti kehidupan serangga biasa”, sahut Niko seenaknya. Jawaban yang membuat Nashita merasa kesal, ia tak menyangka ucapan seperti itu bisa keluar dari mulut seseorang. “Apa? Biasa? Untuk menjadi capung yang bisa terbang itu ia harus mengalami kehidupan yang keras di bawah air sebagai karnivora ganas selama bertahun-tahun untuk kemudian naik ke atas dan menjadi kepompong, baru ia bisa terbang, setelah bisa terbang hidupnya paling lama hanya 4 bulan. Menurutmu itu biasa?”, protes Nashita membara. Wajah putihnya begitu merah menahan bara yang sudah mengikis arang. Niko terdiam berusaha memahami sesuatu, dan ia tersenyum. “Seperti aku”, kata Niko. Amarah Nashita seketika lenyap, seperti asam yang dihujani basa. “Kisahku seperti metamorfosis itu, namun akhirku tak akan semengenaskan capung dewasa”, ucap Niko setengah tertawa. Sebuah kalimat yang membingungkan bagi Nashita.
            Tawa anak-anak yang sedang bermain di pinggir sawah membuyarkan obrolan mereka. Begitu bahagia wajah-wajah tanpa dosa itu, bersahut-sahutan tawa mereka menggema di sawah. Beberapa dari mereka berlari berusaha menangkap capung yang hanya sedikit itu, beberapa lagi diantaranya berlarian mengikuti ujung serat pohon pisang yang mereka genggam, serat yang mengikat ekor capung. Seakan tak percaya Nashita menyaksikan kejadian itu, capung yang hidupnya tak lebih dari 4 bulan untuk menikmati tubuh indahnya harus binasa hanya dengan hitungan detik setelah perjuangan keras selama bertahun-tahun. Sungguh tidak adil !. Langsung saja ia berdiri hendak memarahi anak-anak itu. Saat itu juga hinggap seekor capung di tangannya. Perlahan ia mengangkat tangannya, ditatap kedua mata besar capung itu. Seketika batinnya yang mendidih itu menjadi sejuk, terlukis indah senyum manisnya. Menoleh ia ke arah segerombolan anak itu. Diamati wajah-wajah polos dan senyum-senyum indah dari bibir-bibir mungil. Dalam tatapan diam batinnya bersua,“Mereka tak tahu apa-apa, kenapa aku harus menghakimi mereka??
Bukankah dulu aku seperti mereka??
Harusnya aku menghakimi diriku sendiri untuk ketidakberdayaanku”.
           
Tepat pukul tiga, Niko sudah tiba di depan rumah Nashita. Tidak seperti kemarin, hari ini ia sangat tepat waktu. Nashita sudah menunggu dengan sebuah kantong plastik hitam di tangannya. “Nik, bawa kamera kan??”,tanya Nashita dengan senyum manisnya. “Oh, bawa dong. Memangnya buat apa?”, tanya Niko sumringah. Hanya senyuman, balasan untuk pertanyaan Niko. Melihat kode dari Nashita yang segera mengajak berangkat, dengan sangat sopan Niko meninta izin kepada Ibunda Nashita yang duduk di halaman, berusaha menjaga citra baiknya.
            Di sawah seperti kemarin, di gubuk itu lagi. Tetap indah, namun mana capung-capung itu? Hanya terlihat 3, 4 capung yang berterbangan. Begitu kecewa hati Nashita melihat bencana buruk itu. Segera sadar Niko melihat ekspresi wajah Nashita yang tak seantusias sewaktu berangkat tadi. Niko tersenyum, baru ia tahu betapa cintanya Nashita kepada serangga terbang itu. Lagi-lagi suara tawa anak-anak yang kemarin memecah keheningan di antara mereka. “Adek !! ayo kesini, kakak bawa makanan”, teriak Nashita keras hingga menggema. Berlarian anak-anak itu mendatangi gubuk mereka. Hal yang sangat mengejutkan bagi Niko, ternyata gadis itu membawa sebuah plastik hitam yang penuh makanan untuk menarik perhatian anak-anak itu dan memberitahu mereka seperti apa siklus hidup capung. Tepatnya menyalurkan kecintaannya terhadap serangga terbang itu kepada anak-anak kecil yang memori otaknya masih begitu polos. Sehingga sangat mudah untuk menyalurkan kecintaan yang serupa.
            Dengan sangat sabar Nashita menceritakan capung kepada anak-anak itu. Mengajari mereka memotret dan menggambar hasil potretan mereka. “Capung-capung itu baik lo, mereka membantu orang tua kalian untuk mengusir hama”, sugesti Nashita kepada anak-anak itu. Niko mengamati gadis pujaannya yang terus berceloteh bagaimana anak-anak itu harus menjaga kebersihan sungai dan selokan-selokan kecil disekitar mereka. Bagaimana kejamnya mereka jika bermain-main dengan menyakiti capung-capung itu. Seketika terbesit di benak Niko, organisasi pecinta capung.
            Bukan main senang hati Nashita mendengar ide Niko. Keesokannya mereka mendatangi rumah Kepala Desa. Suatu hal konyol dan tak bermanfaat menurut Kepala Desa saat pertama mendengar usulan Nashita. Nashita terus meyakinkan, menjelaskan betapa capung dapat sangat membantu para petani, bagaimana peranan capung dalam ekosistem, dan betapa sangat sulit sekarang untuk menjumpai capung serta dampak lingkungan yang baik bersamaan dengan upaya melestarikannya.
            Tiga hari setelah Kepala Desa menyetujui, Nashita menyelesaikan proposal untuk mendirikan organisasi pecinta capung di desanya. Tentunya dengan Niko yang kesana kemari membantu, bahkan secara diam-diam hingga larut malam ia mencari informasi mengenai capung di internet.
            Proposal itu pun tebus. Dengan pemuda-pemuda intelek di desanya sebagai pengurus dan seluruh warga desa sebagai anggota. Kegiatan rutin organisasi itu adalah membersihkan selokan dan sungai-sungai di desa mereka, berbagi informasi tentang capung serta filosofinya, memotret bersama, menggambar bersama dan belajar bersama.
            Hari ini adalah kegiatan membersihkan selokan dan sungai pertama organisasi mereka. Begitu lepas senyum Nashita yang manis menyaksikan para petani, anak-anak dan para pemuda bersama-sama peduli akan kehidupan serangga kecil yang dulu sama sekali tak dipandang penting. Niko menghampiri Nashita, menatap tepat kedua bola matanya. Seketika jantung Nashita terhenti saat sorot mata tajam itu menusuk tepat di kedua matanya. Hentakan hebat kemudian menjangkit jantung Nashita. “Shita, aku”, Niko tampak sedikit ragu melanjutkan kalimatnya. “Aku nimfa yang siap naik ke permukaan, semoga kakiku cukup kokoh untuk rekat dan menjadi kepompong”, lanjut Niko dengan mantap. Nashita terus berdebar, walau dia tak tahu arah pembicaraan Niko. “Sebenarnya ada alasan kenapa aku begitu memperhatikanmu, ada alasan mengapa aku mengikutimu hingga kuliah, mungkin cukup konyol, tapi selama bertahun-tahun ini aku berusaha untuk mencapai proses metamorfosis. Selama 6 bulan ini aku berusaha menyadarkanmu akan keberadaanku, dan sekarang kurasa sudah waktunya aku tahu apakah aku berarti sama dihatimu seperti artimu untukku”, ucap Niko terbata penuh ketulusan. Nashita membatu tanpa bisa berucap sepatah kata pun. “Aku, sebenarnya , mm.. aku rasa metamorfosismu berhasil”, ucap Nashita terbata. Pipinya begitu merona menyembunyikan rasa bahagia. Kini Niko melongo, berfikir atas kalimat terbata yang diucap Nashita. Niko tersenyum lega, menyadari dayungnya tersambut. Digapai tangan indah Nashita, menariknya untuk bergabung dengan yang lain membersihkan selokan tepi sawah.
            Tak terasa satu bulan setengah mereka di desa, kampung halaman mereka. Kini waktunya mereka kembali ke kota perantauan. Semenjak saat itu, setiap 2 minggu sekali mereka pulang untuk melepas rindu dengan keluarga dan mengembangkan organisasi yang mereka rintis. Betapa indahnya dunia ini jika semua orang peduli dengan kehidupan serangga kecil terbang yang bermakna luar biasa bagi berbagai bangsa di dunia.