Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Pages

Jumat, 17 Juni 2011

Metamorfosa



            Sore yang begitu hangat ditemani indahnya sinar matahari yang mulai memerah. Penuh bahagia sepasang bola mata bermain kesana kemari mengikuti gerak capung yang begitu ramai. Tawa-tawa kecil menggelitik setiap pasang telinga ketika bibir-bibir mungil itu terbuka lebar. Melompat-lompat dan berlari kecil mengejar sekelompok capung dengan sepasang tangan yang begitu serakah seakan ingin menggenggam seisi dunia. Namun itu hanya kenangan, sebait memori indah masa kecil Nashita yang tak lagi ditemukannya hinggap pada kehidupan anak-anak kecil di desanya kini.
            Masih terlukis jelas di benak Nashita, betapa banyak capung berterbangan saat ia bermain bersama teman-temannya di pinggir sawah. Walau kampung halamannya masih seperti dulu, tapi keberadaan capung-capung indah itu tak lagi terdeteksi. Mulai berfikirlah otaknya, apa penyebabnya? Adakah yang salah dengan sawah-sawah itu? Selokan-selokan kecil itu? Ataukah udara ini begitu menyesakkan?
            Liburan semester pertama ini ingin dipuaskannya menikmati pemandangan desa yang tak ia nikmati selama 6 bulan terakhir. Demi beasiswanya, ia harus berkutat dengan kuliah dan mengenyam kehidupan kota yang begitu menyesakkan. Pertengahan januari akan menjadi udara segar bagi Nashita. Yang selalu membayangi pikirannya adalah segera bergegas dari kota Pahlawan, pulang ke rumah tercinta, bertemu keluarga dan menikmati udara pedesaan. Lamunannya terhenti seketika saat terdengar dering ponsel. Sebuah pesan dari Niko, “Kapan pulang ke desa?? Ayo pulang bareng !!”. Singkat balasan dari Nashita, “Tanggal 16, jemput di kos ya.... J”. Merekah wajah Niko menerima balasan dari Nashita, gadis yang memenangkan hatinya sejak SMP. Mereka sudah saling kenal sejak SMP, namun kedekatan mereka baru terajut ketika kuliah.
            Hari ini adalah hari kebebasan untuk Nashita, ujian terakhir berarti pulang ke rumah. Terputar dalam memorinya semalam saat menerima pesan dari Niko, “Jam 6 malam habis kamu ujian aku jemput di kosmu”. Segera ia bergegas meletakkan kertas ujian yang telah diisinya ke meja dosen pengawas dan meninggalkan ruang ujian seperti tiupan angin. Seolah dikejar hantu, Nashita berlari menuju kos. Disabet tas ranselnya dan segera ia memakai sepatu kemudian berjalan keluar. Saat ia membuka pintu, Niko sudah berdiri disamping motornya sibuk menempelkan ponsel ditelinga. Saat Niko menutup ponselnya, berhenti pula suara yang tadi terus merongrong di saku Nashita.
            3 jam berlalu, tiba juga Nashita di rumahnya. Tanpa basa basi Niko menyuruh Nashita segera masuk, ia mengerti betul gadis cantik itu sudah sangat merindukan keluarganya. Satu kalimat yang membayangi Niko hingga ia terlelap dalam senyum. “Besok sore jam 3 kerumahku ya, mau aku ajak ke suatu tempat, jangan lupa ya”.
            Suara alarm mengusik tidur siang Niko, tepat pukul 14:10. Segera ia bergegas mandi, mencaplok kunci motornya seperti karnivora ganas yang mengejar mangsa. Nashita sudah duduk menanti di depan rumah. Akhirnya lelaki yang selalu menjaga dan menemani Nashita di kota perantauannnya itu tiba. “Mau kemana??”, tanya Niko menyembunyikan rasa bersalah karena tidak tepat waktu. “ Ke sawah ujung sana”, jawab Nashita singkat. Berputar otak Niko bertanya-tanya, untuk apa disore yang terik pergi ke sawah, bukankah menghabiskan waktu di caffe akan lebih menyenangkan pikirnya.
            Tak perlu menghabiskan waktu banyak untuk sampai ke sawah, karena tak jauh dari rumah Nashita. Niko masih juga tak mengerti, sawah? Ada apa di sawah? Pertanyaan itu selalu berputar. Dan menakjubkan, segerombol kecil capung berterbangan di atas tanaman kacang tanah. “Niko !! ayo kesini!!”, teriak Nashita menghentikan lamunannya akan keelokan alam yang ia saksikan. Untuk kesekian kali Nashita membuatnya tertegun.
            Mereka duduk di gubuk tengah sawah, berdiam menikmati pemandangan sawah yang indah. Mata Nashita tak henti mengikuti gerak capung yang terbang kesana kemari, serangga kecil yang begitu lincah, yang menghabiskan bertahun-tahun demi metamorfosis tak sempurnanya dan hidup pendek dengan bentuk baru yang indah. “Tragis ya kehidupan capung itu”, celoteh Nashita. “Kenapa? Biasa saja, seperti kehidupan serangga biasa”, sahut Niko seenaknya. Jawaban yang membuat Nashita merasa kesal, ia tak menyangka ucapan seperti itu bisa keluar dari mulut seseorang. “Apa? Biasa? Untuk menjadi capung yang bisa terbang itu ia harus mengalami kehidupan yang keras di bawah air sebagai karnivora ganas selama bertahun-tahun untuk kemudian naik ke atas dan menjadi kepompong, baru ia bisa terbang, setelah bisa terbang hidupnya paling lama hanya 4 bulan. Menurutmu itu biasa?”, protes Nashita membara. Wajah putihnya begitu merah menahan bara yang sudah mengikis arang. Niko terdiam berusaha memahami sesuatu, dan ia tersenyum. “Seperti aku”, kata Niko. Amarah Nashita seketika lenyap, seperti asam yang dihujani basa. “Kisahku seperti metamorfosis itu, namun akhirku tak akan semengenaskan capung dewasa”, ucap Niko setengah tertawa. Sebuah kalimat yang membingungkan bagi Nashita.
            Tawa anak-anak yang sedang bermain di pinggir sawah membuyarkan obrolan mereka. Begitu bahagia wajah-wajah tanpa dosa itu, bersahut-sahutan tawa mereka menggema di sawah. Beberapa dari mereka berlari berusaha menangkap capung yang hanya sedikit itu, beberapa lagi diantaranya berlarian mengikuti ujung serat pohon pisang yang mereka genggam, serat yang mengikat ekor capung. Seakan tak percaya Nashita menyaksikan kejadian itu, capung yang hidupnya tak lebih dari 4 bulan untuk menikmati tubuh indahnya harus binasa hanya dengan hitungan detik setelah perjuangan keras selama bertahun-tahun. Sungguh tidak adil !. Langsung saja ia berdiri hendak memarahi anak-anak itu. Saat itu juga hinggap seekor capung di tangannya. Perlahan ia mengangkat tangannya, ditatap kedua mata besar capung itu. Seketika batinnya yang mendidih itu menjadi sejuk, terlukis indah senyum manisnya. Menoleh ia ke arah segerombolan anak itu. Diamati wajah-wajah polos dan senyum-senyum indah dari bibir-bibir mungil. Dalam tatapan diam batinnya bersua,“Mereka tak tahu apa-apa, kenapa aku harus menghakimi mereka??
Bukankah dulu aku seperti mereka??
Harusnya aku menghakimi diriku sendiri untuk ketidakberdayaanku”.
           
Tepat pukul tiga, Niko sudah tiba di depan rumah Nashita. Tidak seperti kemarin, hari ini ia sangat tepat waktu. Nashita sudah menunggu dengan sebuah kantong plastik hitam di tangannya. “Nik, bawa kamera kan??”,tanya Nashita dengan senyum manisnya. “Oh, bawa dong. Memangnya buat apa?”, tanya Niko sumringah. Hanya senyuman, balasan untuk pertanyaan Niko. Melihat kode dari Nashita yang segera mengajak berangkat, dengan sangat sopan Niko meninta izin kepada Ibunda Nashita yang duduk di halaman, berusaha menjaga citra baiknya.
            Di sawah seperti kemarin, di gubuk itu lagi. Tetap indah, namun mana capung-capung itu? Hanya terlihat 3, 4 capung yang berterbangan. Begitu kecewa hati Nashita melihat bencana buruk itu. Segera sadar Niko melihat ekspresi wajah Nashita yang tak seantusias sewaktu berangkat tadi. Niko tersenyum, baru ia tahu betapa cintanya Nashita kepada serangga terbang itu. Lagi-lagi suara tawa anak-anak yang kemarin memecah keheningan di antara mereka. “Adek !! ayo kesini, kakak bawa makanan”, teriak Nashita keras hingga menggema. Berlarian anak-anak itu mendatangi gubuk mereka. Hal yang sangat mengejutkan bagi Niko, ternyata gadis itu membawa sebuah plastik hitam yang penuh makanan untuk menarik perhatian anak-anak itu dan memberitahu mereka seperti apa siklus hidup capung. Tepatnya menyalurkan kecintaannya terhadap serangga terbang itu kepada anak-anak kecil yang memori otaknya masih begitu polos. Sehingga sangat mudah untuk menyalurkan kecintaan yang serupa.
            Dengan sangat sabar Nashita menceritakan capung kepada anak-anak itu. Mengajari mereka memotret dan menggambar hasil potretan mereka. “Capung-capung itu baik lo, mereka membantu orang tua kalian untuk mengusir hama”, sugesti Nashita kepada anak-anak itu. Niko mengamati gadis pujaannya yang terus berceloteh bagaimana anak-anak itu harus menjaga kebersihan sungai dan selokan-selokan kecil disekitar mereka. Bagaimana kejamnya mereka jika bermain-main dengan menyakiti capung-capung itu. Seketika terbesit di benak Niko, organisasi pecinta capung.
            Bukan main senang hati Nashita mendengar ide Niko. Keesokannya mereka mendatangi rumah Kepala Desa. Suatu hal konyol dan tak bermanfaat menurut Kepala Desa saat pertama mendengar usulan Nashita. Nashita terus meyakinkan, menjelaskan betapa capung dapat sangat membantu para petani, bagaimana peranan capung dalam ekosistem, dan betapa sangat sulit sekarang untuk menjumpai capung serta dampak lingkungan yang baik bersamaan dengan upaya melestarikannya.
            Tiga hari setelah Kepala Desa menyetujui, Nashita menyelesaikan proposal untuk mendirikan organisasi pecinta capung di desanya. Tentunya dengan Niko yang kesana kemari membantu, bahkan secara diam-diam hingga larut malam ia mencari informasi mengenai capung di internet.
            Proposal itu pun tebus. Dengan pemuda-pemuda intelek di desanya sebagai pengurus dan seluruh warga desa sebagai anggota. Kegiatan rutin organisasi itu adalah membersihkan selokan dan sungai-sungai di desa mereka, berbagi informasi tentang capung serta filosofinya, memotret bersama, menggambar bersama dan belajar bersama.
            Hari ini adalah kegiatan membersihkan selokan dan sungai pertama organisasi mereka. Begitu lepas senyum Nashita yang manis menyaksikan para petani, anak-anak dan para pemuda bersama-sama peduli akan kehidupan serangga kecil yang dulu sama sekali tak dipandang penting. Niko menghampiri Nashita, menatap tepat kedua bola matanya. Seketika jantung Nashita terhenti saat sorot mata tajam itu menusuk tepat di kedua matanya. Hentakan hebat kemudian menjangkit jantung Nashita. “Shita, aku”, Niko tampak sedikit ragu melanjutkan kalimatnya. “Aku nimfa yang siap naik ke permukaan, semoga kakiku cukup kokoh untuk rekat dan menjadi kepompong”, lanjut Niko dengan mantap. Nashita terus berdebar, walau dia tak tahu arah pembicaraan Niko. “Sebenarnya ada alasan kenapa aku begitu memperhatikanmu, ada alasan mengapa aku mengikutimu hingga kuliah, mungkin cukup konyol, tapi selama bertahun-tahun ini aku berusaha untuk mencapai proses metamorfosis. Selama 6 bulan ini aku berusaha menyadarkanmu akan keberadaanku, dan sekarang kurasa sudah waktunya aku tahu apakah aku berarti sama dihatimu seperti artimu untukku”, ucap Niko terbata penuh ketulusan. Nashita membatu tanpa bisa berucap sepatah kata pun. “Aku, sebenarnya , mm.. aku rasa metamorfosismu berhasil”, ucap Nashita terbata. Pipinya begitu merona menyembunyikan rasa bahagia. Kini Niko melongo, berfikir atas kalimat terbata yang diucap Nashita. Niko tersenyum lega, menyadari dayungnya tersambut. Digapai tangan indah Nashita, menariknya untuk bergabung dengan yang lain membersihkan selokan tepi sawah.
            Tak terasa satu bulan setengah mereka di desa, kampung halaman mereka. Kini waktunya mereka kembali ke kota perantauan. Semenjak saat itu, setiap 2 minggu sekali mereka pulang untuk melepas rindu dengan keluarga dan mengembangkan organisasi yang mereka rintis. Betapa indahnya dunia ini jika semua orang peduli dengan kehidupan serangga kecil terbang yang bermakna luar biasa bagi berbagai bangsa di dunia.