Mata serasa terpejam... Namun naluri tak mengizinkan...
Semua batu tertumpuk hebat
Berat, sangat berat
Jauh rumah terpandang namun nyata
Sekonyong-konyong semakin dekat
Mendekat, dekat, dekat, dekat, makin dekat dan fana...
Rumah begitu jauh tak terlihat
Terpandang hanya bayang
Bias palsu
Hampa dalam gelap...
15 Maret 2012
-Malini-
Kamis, 15 Maret 2012
Minggu, 04 Maret 2012
Sepasang Elang
Dua bulan lebih aku dan Dori menjalin kasih. Pria
yang semula ku kira mampu membaca pikiranku. Pria yang ku kira akan sangat
memahami diriku dengan toleransinya yang tinggi. Aku adalah jiwa yang sangat
bebas, melakukan segala yang kusuka dengan caraku sendiri. Dan ini adalah
pertama kalinya aku memutuskan untuk membuka hatiku kembali, berkomitmen
setelah kisah cintaku bersama Jack usai 2 tahun yang lalu.
Tak bisa ku pungkiri, bayang-banyang
Jack masih sangat jelas dibenakku. Ikatan batin yang dulu pernah hidup, masih
begitu kokoh. Namun selalu ku buang jauh-jauh pikiranku ketika Jack terlukis
dalam memori. Karena kini aku bersama Dori, dan pria itu pula yang ku izinkan
untuk menguasai hatiku.
Masih teringat jelas masa itu,
ketika pertama kali Dori mengungkapkan perasaannya padaku. Hari dimana ia
memintaku menjadi kekasihnya. Ya, pertengahan bulan November, tepat tanggal 15.
Sebuah pesan singkat hinggap di
ponselku siang itu, ketika kelasku telah usai, tepat pertengahan November.
Sebuah pertanyaan dari Dori yang membuatku berdebar dan seakan membuatku gila.
“Apa yang membuatmu tidak bisa
tidur? Apakah sesuatu yang membuatmu ragu? Jika benar, aku bisa membuat
semuanya jelas. Nanti malam, ayo keluar.”
Betapa aku tersentak hebat membaca pesan itu. Ia
mengerti bahasa pikiranku. Alam pikirku berkelana kemana-mana, menerka-nerka
apa yang hendak disampaikan Dori padaku. Apakah ia akan berkata “aku suka kamu”, atau ia akan berkata “bagiku kau tak lebih dari sekedar teman
kuliah, mohon jangan salah paham”. Ya, aku memang sedang bimbang. Dari
sudut pandangku, aku merasa Dori memiliki perasaan yang lebih dari sekedar
teman padaku. Namun disisi lain aku tak ingin salah paham. Dori pria yang baik,
ia ramah pada semua orang.
Malam itu, ia menjemputku. Sungguh, aku merasa kehilangan
kendali. Sepertinya aku lupa cara berjalan. Aku bingung bagaimana harus duduk.
Bahkan aku tak tahu dimana letak tanganku. Dan yang terparah, aku tak mampu
membunyikan pita suaraku. Otakku tak lagi fokus, benar-benar merasa idiot.
Sehingga waktu terasa begitu lambat. Kami berdiskusi, saling bertanya dan
saling mengungkap. Hasil diskusi kami adalah menjalin hubungan dengan komitmen
berpacaran. Aku sangat tersanjung di malam pertengahan November itu, hatiku
terasa mengembang. Setelah dua tahun ku ikat hatiku erat-erat, akhirnya
kurasakan kembali perasaan ini. Menyayang dan disayang.
Setelah malam itu, hubungan kami menjadi sangat
kaku. Bukan tampak seperti sepasang dara, kami justru begitu jauh. Aku
mengerti, mungkin Dori merasa sungkan dihadapan teman-teman sekelas kami. Dan
aku, selalu salah tingkah ketika bertatap muka
dengannya. Bahkan hanya dengan melihat punggungnya, aku bisa kehilangan
kendali.
Hari berganti hari, 2 minggu telah terlewati.
Kekakuan kami mulai melentur. Aku senang ketika bertemu dengannya, penat dan
lelahku terasa lenyap saat bercakap dan meletakkan kepalaku di pundaknya.
Benar, Dori sangat toleran. Meski terkadang aku merasa sikapnya terhadap teman-teman
wanitanya berebihan, aku menganggap hal itu wujud toleranku atas toleransinya
padaku.
Sebulan telah berlalu, toleransinya padaku kurasa
berubah menjadi ketidak acuhannya padaku. Aku mengerti, mungkin terlalu cepat
bagiku untuk mengharapkan bagian yang lebih pada hatinya. Waktu terus berlalu
tanpa lelah. Dua bulan sudah kami bersama. Ku amati Dori, ia bahkan tak mampu
mengungkapkan amarahnya meski itu perlu. Ia tak mampu mengambil sendiri
keputusan yang memang harus ia putuskan. Dan ia bahkan tak cukup berani untuk
berpendapat dan berbicara di depan umum. Aku butuh seorang “Pria”, hatiku
menjerit.
Bahkan ia sama sekali tak cemburu ketika aku bersama
teman priaku. Aku berharap ia akan memarahi dan membentakku. Namun ia hanya
bergeming.
Kini, kami berdua mulai menapaki bulan Pebruari. Aku
ingin hubungan yang serius, namun kulihat Dori punya pikiran berbeda tentang
hubugan kami. Bahkan di ponselnya, ia masih menyimpan foto mantan kekasihnya.
Kupikir ia akan mengerti walau aku tak pernah menyinggung tentang hal itu, tapi
sekali lagi kusadari bahwa ia sama sekali tak peka. Kekecewaanku bertambah
ketika kulihat ia masih menyimpan foto mantan kekasihnya itu di dompetnya.
Sungguh aku merasa bodoh.
Perasaanku yang mulai berkurang, terus berkurang
hingga hampir tak tersisa. Kuubah namanya di poselku, ku kosongkan hatiku.
Hingga aku benar-benar yakin tak ada lagi yang aku harapkan darinya.
Ia mulai menyadari perubahan sikapku. Saat ia
melihat poselku, kulihat matanya berkaca. Apa aku salah mengambil keputusan?
Entahalah, ini terasa seperti soal fisika bagiku. Ya, sekarang aku tahu dia
mencintaiku. Bahkan lebih dari yang ku duga.
Sekarang sudah 2 bulan lebih, tapi aku kehilangan
perasaanku. Kenapa tak lebih awal dia tunjukkan rasanya padaku. Kenapa Dori
hanya diam? Dan kediaman itu sangat menyiksaku. Membuatku merasa begitu tidak
berharga untuknya. Satu hal lagi yang begitu mengganggu bagiku, aku butuh sosok
yang bisa dikatakan “pria”. Seseorang yang menunjukkan emosinya jika
diperlukan, seseorang yang tegas dan berwibawa. Bukan seseorang yang “diam” dan
tak dapat mengambil keputusan. Aku ingin pasanganku yang dominan, bukan aku.
Karena aku wanita.
Aku hampir putus asa. Walau orang lain berkata
hubungan kami “baru” 2 bulan lebih, bagiku waktu 2 bulan tidaklah sebentar.
Terlebih lagi membiarkan orang lain berkelana dalam hatiku selama itu. Aku
terus berpikir, akhirnya ku putuskan untuk berterus terang padanya.
Kami bertemu di sebuah caffe. Tak ada sepatah
katapun yang keluar hingga 2 cangkir kopi panas tiba di meja kami. Aku merasa
sulit untuk memulai pembicaraan, namun aku harus. Ku ungkapkan semua hal yang
sangat menggangguku, kuungkapkan semua sikapnya yang tak ku suka. Tanpa tirai,
penuh cela. “Beri aku kesempatan,” itu
yang ia katakan. Tak ada pembelaan sama sekali, seakan semua yang ku ucapkan
adalah mutlak. Sekali lagi, ini yang menggangguku, bahkan sebagai seorang pria
meski harga dirinya terinjak ia akan tetap “diam”.
Aku tak tahu mesti berkata apa. Kujawab permintaannya dengan berkata “baiklah, jangan lama-lama aku tak bisa terlalu lama menunggu”. Ku beranikan hatiku untuk menanyakan sesuatu, tentang perasaannya padaku.
Aku tak tahu mesti berkata apa. Kujawab permintaannya dengan berkata “baiklah, jangan lama-lama aku tak bisa terlalu lama menunggu”. Ku beranikan hatiku untuk menanyakan sesuatu, tentang perasaannya padaku.
“Boleh ku tahu? Seberapa besar
perasaanmu padaku?”
“Ya, 90% hatiku”
Aku tersentak hebat mendengar jawaban Dori, 90%
bukan persentase yang kecil. Inilah jawaban yang sangat aku takutkan. Dan
pertanyaan darinya lebih membuatku takut. Dan aku tak bisa berbohong.
“Dan aku mohon kau menjawab Ell,
seberapa besar perasaanmu padaku?”
“35%.”
Sangat terlihat betapa Dori begitu
kecewa atas jawabanku. Aku dapat membayangkan bahwa baginya langit serasa
runtuh. Sungguh jahat. Aku merasa menjadi manusia paling jahat di muka bumi.
Betapa tidak, aku melukai hati seorang anak manusia yang begitu tulus.
Setelah pembicaraan itu aku tak
dapat tidur dengan nyenyak. Akankah ia berubah seperti yang kuinginkan? Atau
mungkin tidak, dan aku akan melepaskannya. Lalu apa? Akankah ia terpuruk? Aku
mohon jangan, akan lebih baik jika ia membenciku dan melajutkan hidupnya
kembali.
Hingga kini aku masih menanti,
menanti ia akan berubah menjadi “pria” yang ku inginkan. Ku ikat hatiku, cukup
dengan 35% itu saja perasaanku untuknya. Sebentar lagi ulang tahunku, dan aku
tak berharap mendapat kejutan darinya. Karena apabila aku tak sanggup lagi,
tentu akan sangat menyakitkan baginya. Untung saja libur semester ini hingga
akhir bulan Pebruari, setidaknya aku bisa sedikit tenang karena tak akan
bertemu dengannya. Namun ketenangan itu sirna, tepat pada hari valentine ada
hal mendesak yang harus aku urus di kampus. Maka malam sebelum hari itu, aku
berangkat dari rumahku di desa ke kamar sewaku di kota dengan nafas yang berat.
“Dia akan menjemputku”. Itu yang
selalu terngiang dalam otakku.
Setibanya di Kota kulihat Dori telah
menungguku. Kutatap wajahnya dari kejauhan. Astaga, aku menyukai pria itu.
Hatiku berdebar, namun sikapku tetap tak berubah padanya. Tetap dingin. Seperti
dugaanku, Dori tak mengantarku ke kamar sewa. Ia menurunkanku di caffe dekat
universitas kami dengan alasan “aku ingin
makan sesuatu”.
Ya, dugaanku benar. Teman-temanku
dan Dori merencanakan kejuta kecil untuk merayakan hari kelahiranku. Aku
terkesan malam itu, namun hatiku tak tersenyum. Hari berikutnya, ketika
urusanku di kampus selesai Dori mengajakku berlibur sehari ke kaki gunung dekat
kota. Aku tak menolak, karena aku harus konsisten dengan memberinya kesempatan.
Jujur aku sangat menikmati liburan sehari kami. Sepanjang perjalanan berangkat
kami tak banyak bercakap di mobil, namun pikiranku mengembara. Kupikir diriku
terlalu egois dengan hanya memikirkan perasaanku. Aku terlalu egois
menginginkan hal lebih darinya. Dia bahkan terlalu baik untukku. Dia menerimaku
apa adanya, kenapa tidak kulakukan hal yang sama?
“Ku antar kau sampai kerumah ya?”
“Serius? Perjalanan 2 jam, apa kau
tak lelah?”
“Iya, serius. Tapi aku langsung
pulang, sudah malam.”
Aku terkejut, sungguh ku kira Dori hanya bercanda.
Ia benar-benar mengantarku pulang. Kulihat kegelisahan diwajahnya. Ini pertama
kalinya ia akan bertemu kedua orang tuaku.
Kami tiba di rumahku. Kedua orang tuaku menyambutnya
dengan baik. Kulihat keringat mengucur di dahinya. Ia menggenggam tanganku
erat. Kurasakan ia sangat gugup, tangannya seperti membeku padahal suhu udara
sangat normal.
Tak lama setelah itu, ia berpamitan pulang. Ada
waktu seminggu sebelum kami berdua akan bertemu kembali di awal Maret.
Kugunakan waktuku sebaik mungkin untuk berdialog antara hati dan pikiranku. Ya,
kusadari aku sangat egois. “Maaf”,
kata itu yang menghantui diriku. Aku mencintai Dori, lalu kenapa aku
mempermasalahkan hal yang memang konsekuensiku? Pikiran dan hatiku berkata “Kau bodoh Ell, Dori adalah pria baik dan
kau mempermainkannya”.
Kini kubuka kembali ikatan di hatiku. Ku izinkan
Dori menggenggam hatiku sepenuhnya. Aku mencintainya, apa adanya. Meski ia akan
menjadi buruk aku tetap mencintainya. Karena cinta tak akan memandang, namun
merasakan. Segala kekurangannya, pasti akan berubah seiring berjalannya waktu
karena manusia pasti akan belajar. Disitulah tugasku sebagai kekasihnya,
mendorong dan membantunya untuk belajar. Hal itu pula yang akan Dori lakukan
untukku.
Butuh waktu lama bagiku untuk mengerti semua ini.
Dori menerimaku dengan segala keburukanku. Ia menyayangiku, namun ia “diam”.
Dan aku akan membantunya untuk “bergerak”. Dan ia mengajariku banyak hal tanpa
kusadari. Aku menyayangi Dori, sepenuhnya. Dan berharap kisah kami akan
menemukan akhirnya di penghujung hidupku. Tidak, di penghujung hidup kami.
Seperti sepasang elang.